Saksi Ultimatum Belanda Terhadap Aceh Sudah Berumur 143 Tahun

WAA - Pantai Cermin di Ulee Lheue menjadi saksi bisu ketika kapal-kapal perang Belanda merapat di sana pada Maret 1873. Dari atas geladak kapal, F.N.Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda membacakan pernyataan perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873.
Pernyataan perang itu adalah puncak dari perseteruan antara Belanda Aceh yang sebenarnya riak-riak memburuknya hubungan kedua negeri itu telah muncul jauh sebelumnya terutama setelah beberapa kali Belanda melanggar Traktat London 1824 yang berisi pernyataan antara Inggris dan Belanda untuk menghormati kedaulatan dan integritas Kerajaan Aceh.
Pada Maret 1957, Sultan Aceh dan Belanda juga pernah menandatangani kesepakatan berdamai, setelah sebelumnya beberapa kali Belanda mengancam kedaulatan Aceh.
Namun setahun berselang, Belanda menduduki Siak, dan membuat perjanjian Siak 1858. Sultan Siak menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal, sebelumnya, sejak masa Sultan Iskandar Muda (1604 – 1635) daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan Aceh. Tindakan itu tentu saja membuat murka Kerajaan Aceh.
Pada 1871, lagi-lagi terjadi keadaan yang membuat Aceh kian cemas. Tanda-tanda Belanda akan mencengkramkan kaki di Aceh kian kuat. Ini terlihat dari munculnya “Traktat Sumatera”, sebuah kesepakatan antara kerajaan Belanda dan Inggris. Isinya antara lain menyatakan bahwa “Belanda bebas memperluas kekuasaannya di seluruh pulau Sumatera” sehingga dengan demikian Belanda tidak berkewajiban lagi menghormati kedaulatan dan integritas Kerajaan Aceh yang tercantum dalam “Traktat London 1824″.
Dalam buku Perang Kolonial Belanda Aceh yang disusun oleh sebuah tim khusus bentukan Pemerintah Aceh tahun 1977, disebutkan bahwa Kerajaan Aceh merasa terancam oleh “Traktat Sumatera” ini.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, dalam keadaan demikian Kerajaan Aceh berusaha mencari bantuan dari negara-negara yang dianggap bersahabat, antara lain Turki, Amerika, dan Italia.
Dalam bulan September 1871 Belanda menempuh suatu garis kebijaksanaan baru, yakni politik tanpa agresi, tetapi dipersiapkan sedemikian rupa sehingga dapat tercapai kehendak pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi pihak-pihak yang perlu dilindungi serta bertujuan memperkokoh pengaruh Belanda yang menganggap Sumatera menjadi haknya.
Pada Oktober 1872 pemerintah Hindia Belanda mengirim surat kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah, yang berisi “keinginan untuk mengirimkan sebuah komisi yang diketuai oleh Residen Riau guna menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak”.
Dua bulan berselang, pada Desember 1872 Sultan Aceh menyampaikan surat jawaban kepada Residen Riau melalui sebuah perutusan yang terdiri dari Syahbandar Panglima Tibang Muhamad beserta empat orang hulubalang lainnya, yang meminta agar perutusan Belanda menunda kedatangannya beberapa bulan lagi karena Kerajaan Aceh sedang menanti hasil kunjungan utusannya menghadap Sultan Turki.
Dalam perjalanan kembali dari Riau pada tanggal 25 Januari 1873 utusan Aceh dengan menumpang kapal “Marnix” singgah di Singapura serta mengadakan hubungan dengan konsulat Amerika dan Italia.
Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh disebutkan, Konsul Amerika sendiri bersama para utusan tersebut mempersiapkan sebuah konsep perjanjian kerja sama sederajat antara Amerika dan Aceh dalam menghadapi ancaman Belanda.
Namun, M. Nur El Ibrahimy, menemukan fakta lain. Dalam bukunya Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh yang terbit tahun 1993, Ibrahimy menyebut Amerika membantah terlibat, meski memang Konsul Amerika di Singapura mengakui menerima kedatangan utusan Aceh. Ibrahimy sendiri merujuk pada penulis Belanda Paul van’t Veer, penulis buku De Atjeh Oorlog, terbitan tahun 1969. Ibrahimy menyebut adanya pengkhiatan atau konspirasi di sana. (Baca: Kisah ‘Pengkhianatan Tengku Arifin’ Pemicu Belanda Perangi Aceh)
Dalam pada itu, Konsul Belanda di Singapura, Read (meski sebagai Konsul Belanda, ia adalah orang Inggris) mengawatkan pemerintah Hindia Belanda dan memberitahukan bahwa konsul-konsul Amerika dan Italia membantu kedudukan Aceh. Akibatnya adalah keputusan pemerintah Belanda di Nederland pada tanggal 18 Februari 1873 yang memerintahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta), James Loudon, agar mengirim angkatan laut ke Aceh, dan kalau perlu disertai pasukan yang kuat.
Adanya kekuatan lain yang hendak turut berperan seperti keadaan sebelum tahun 1824 di pulau Sumatera mengkhawatirkan pihak Belanda.
Belanda segera mengambil tindakan karena khawatir tentang kelanjutan hasi perundingan di Singapura antara Aceh dengan Amerika Serikat yang dapat merugikannya. Dengan diperolehnya berita bahwa sebuah skuadron Amerika di bawah Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong ke Aceh pada tanggal 1 Maret 1873, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengangkat F.N.Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda serta memerintahkannya menuju Aceh untuk mengusahakan agar Sultan Aceh mengakui kedaulatan Belanda.
Andaikata pengakuan dimaksud telah diperoleh, diperkirakan bahwa kekuatan-kekuatan ketiga akan terhambat untuk melakukan intervensi.
Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret menuju Aceh dengan sebuah kapal perang (“Citadel van Antwerpen”) dan sebuah kapal pemerintah sipil (“Siak”); sesampai di Pulau Pinang ia mendapat tambahan kekuatan lagi dua buah kapal perang milik Belanda (“Marnix” dan “Coehoorn”).
Ia tiba di perairan Aceh pada tanggal 22 Maret dan kemudian menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah. Jawaban Sultan tidak memenuhi keinginan Belanda dan karena itu pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwenhuyzen memaklumkan perang kepada Kerajaan Aceh.
Pada tangga l5 April tahun itu juga Belanda telah siap di perairan Aceh dengan 6 buah kapal perang (“Djambi”, “Citadel van Antwerpen”, “Marnix”, “Coehoorn”, “Soerabaja”, “Sumatra”), 2 buah kapal angkatan laut pemerintah (“Siak” dan “Bronbeek”), 5 buah barkas, 8 buah kapal peronda, 1 buah kapal komando, 6 buah kapal pengangkut, serta 5 buah kapal layar, masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut, yaitu 3 buah untuk pasukan artileri, kavaleri dan pekerja-pekerja, 1 buah untuk amunisi dan perlengkapan, serta 1 buah untuk orang-orang sakit.
Komandan armada ialah kapten laut J.F. Koopman. Angkatan Darat dan Laut itu yang seluruhnya terdiri dari 168 orang perwira (140 orang Eropa, 28 orang bumiputera),  3198 orang bawahan (1098 orang Eropah dan 2100 orang bumiputera), 31 ekor kuda untuk perwira, 149 ekor kuda pasukan, 1000 orang pekerja paksa dengan 50 orang mandor, 220 orang wanita bumiputera (8 orang setiap kompi) serta 300 orang laki-laki bumiputera sebagai pelayan perwira-perwira, dipimpin oleh mayor jenderal J.H.R. Köhler, dibantu oleh wakilnya merangkap komandan infanteri kolonel E.C. van Daalen, disertai pula oleh kepala dan wakil kepala staf, ajudan-ajudannya, komandan-komandan batalion, Zeni, kesehatan dan topografi.
Pada tanggal 6 April untuk pertama kali pasukan Belanda mendarat di Pante’Ceureumen, sebelah Timur Ulèe Lheue, untuk melakukan pengintaian; mereka dipukul mundur oleh pejuang-pejuang Aceh, dan barulah pada tanggal 8 April berikutnya seluruh induk pasukan Belanda didaratkan di bumi Aceh.
Pada hari pendaratan pertama saja ‘kapal perang “Citadel van Antwerpen” memperoleh dua belas tembakan meriam Aceh. Perang kolonial yang terlama dalam sejarah Nusantara dimulai.
Sesaat setelah tentara Belanda mendarat pada tanggal 6 April 1873 dengan serta-merta mereka digempur oleh pasukan Kerajaan Aceh. Setelah beberapa hari bertempur barulah Belanda dapat merebut Mesjid Raya di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada 10-4-1873, akan tetapi karena tekanan pasukan-pasukan Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Imeum Lueng Bata, mereka kemudian terpaksa meninggalkannya juga.
Pada tanggal 14 April 1873 Belanda berusaha lagi merebut Mesjid Raya, dan dalam pertempuran ini panglima pasukannya J.H.R. Köhler tewas kena peluru pejuang Aceh. Tujuan Belanda menguasai Dalam atau Kraton Sultan Aceh dapat digagalkan.
Mereka dipukul mundur dengan menderita kekalahan hebat, yakni 45 orang tewas (termasuk 8 orang perwiranya) dan 405 orang luka-luka (di antaranya 23 orang perwira).
Tiga hari setelah Jenderal Köhler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, dan setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April, mereka lalu membongkar sauh meninggalkan pantai Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Penyerbuan Belanda yang pertama seluruhnya gagal. Dalam pada itu pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan lagi angkatan perangnya untuk melakukan penyerangan kedua, dan selama persiapan ini Angkatan Lautnya memblokade perairan pantai Aceh untuk menghalangi Kerajaan Aceh berhubungan dengan dunia luar.
Pihak Aceh pun tidak tinggal diam menghadapi keadaan ini. Di Penang terbentuk sebuah “Dewan delapan”, yang terdiri dari 4 orang bangsawan Aceh, 2 orang Arab, dan 2 orang Keling kelahiran Penang, untuk mewakili kepentingan Aceh di luar negeri, mengusahakan dan mengangkut perbekalan perang dengan menembus blokade Belanda serta berusaha menghubungi tempat-tempat lain di Nusantara agar timbul juga perlawanan terhadap Belanda.
Belanda menamai perang ini sebagai Atjeh Oorlog atau Perang Aceh. Sementara orang Aceh memberi sejumlah nama: Prang Beulanda (perang Belanda), Prang Gómpeuni (perang kompeni), Prang Sabi (perang Sabil) dan Prang Kaphé (PerangKafir), dan siapa yang gugur karena memerangi kafir (maksudnya orang Belanda karena tidak seagama dengan orang Aceh pada masa peperangan itu) dianggap mati syahid sebagaimana tercermin dalam Hikayat Perang Sabil.
J.S.Furnivall (1944-1976) menganggap Perang Aceh ini berakhir pada tahun 1904. Sedangkan J.Jongejans (1939) yang pernah menjadi residen Aceh, mengemukakan bahwa dengan gugurnya ulama-ulama Tiro dapatlah dianggap perang Belanda di Aceh telah berakhir (1910-1913).
Adapun J.Kreemer (1922) menganggap Perang Aceh berakhir pada 1910. Ia membuat periodisasi Perang Aceh dengan membaginya dalam tujuh masa, yaitu:
(1) ekspedisi pertama di bawah Jenderal J.H.R. Köhler (5-29 April 1873),
(2) ekspedisi kedua di bawah Jenderal J.van Swieten sampai dengan pendudukan Dalam (kraton) Sultan Aceh (9 Desember 1873-24 Januari 1874),
(3) masa konsolidasi pendudukan Aceh (April 1874-Juni 1878),
(4) masa aksi kekerasan dan penaklukan seluruh Aceh Besar (Juni 1878-September 1879),
(5) masa pemerintahan sipil (1881-1884),
(6) kemunduran yang terus-menerus (1884-1896), dan
(7) masa aksi kekerasan dan berakhirnya Perang Aceh (1896-1910).
Seorang pengarang Belanda yang lain, sesudah Perang Dunia II, Paul van ‘t Veer, dalam bukunya De Atjeh Oorlog, menganggap bahwa “Perang Aceh” berakhir pada 1942, tahun masuknya Jepang. Susunannya: Perang Aceh Pertama pada 1873; Perang Kedua, 1874-1880: Ketiga, pada 1884-1896 dan Perang Aceh Keempat, 1898—1942.[] Dari berbagai sumber
Previous Post Next Post