Pandangan Seorang Aceh Tentang Pemerintah Baru di Jakarta

M. Nur Djuli [Foto achehpress.com].

WAA Minggu 15/11/2009, TERJEMAHAN DARI BAHASA INGGRIS. Jakarta Post, Khamis 5 Nopember 2009 Opini Pandangan Seorang Aceh Tentang Pemerintah Baru di Jakarta

M. Nur Djuli , Banda Aceh

Terpilihnya kembali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keputusannya untuk tidak lagi bermitra dengan Jusuf Kalla (JK) dan sebaliknya mengambil Boediono sebagai Wakil Presiden menjadikan politik kekuasaan di Indonesia, dengan menggunakan istilah super power, “adikuasa” (unipolar). Apakah hal ini akan memberikan efek positif atau negatif terhadap Aceh akan terukur menurut komitmen pemerintahan baru ini dalam melaksanakan janji-janjinya sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian perdamaian Kesefahaman Bersama (MoU) Helsinki.

Walaupun tidak lagi relevan mendebatkan siapa yang paling berjasa dalam hal tercapainya perdamaian di Aceh, kenyataannya, yang menjadi kampiun sejati adalah rakyat Aceh sendiri.

Memang benar bahwa sebagai satu team, SBY dan JK-lah yang telah memegang kunci perdamaian di Aceh dan tanpa kedua mereka ini perdamaian di Aceh seperti yang kita semua nikmati sekarang ini tidak akan tercapai. Sekaran dengan tidak adanya lagi “team impian” rakyat Aceh ini, bagaimana selanjutnya masa depan Aceh?.

JK telah menyatakan kekecewaannya tentang rakyat Aceh yang telah memberikan lebih dari 90% suara mereka kepada SBY dalam Pilpres yang lalu. Beliau telah menyatakan dengan terbuka bahwa orang Aceh “tidak tahu berterimakasih”, lupa barangkali bahwa dalam politik tidak ada sara terimakasih, yang ada hanya perhitungan kekuatan dan kelemahan.

Lagipun mengapa pula rakyat Aceh harus berterimakasih kepada para pemimpin nasional yang telah menjadi sumber penderitaan mereka yang tidak ada taranya? Sebenarnya adalah tugas para pemimpin itu untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang telah mereka sendiri atau para pemimpin sebelumnya lakukan, yang telah menyebabkan penderitan rakyat Aceh yang sangat berat dan berkepanjangan.

Dengan memberikan kepercayaan yang sangat besar kepada SBY, rakyat Aceh menunjukkan kematangan mereka dalam berpolitik, kearifan yang tinggi dalam memperhitungkan peluang dan hambatan (untung rugi)nya, dengan kata lain “bermain dengan bijak” (playing smart). Sebenarnya, secara nasional jumlah suara dari Aceh adalah terlalu kecil untuk mempengaruhi posisi SBY sebagai pemenang pilpres. Tanpa dukungan suara dari Aceh pun SBY tetap menang.

Tetapi suara rakyat Aceh berpengaruh besar bagi prestige SBY sebagai seorang pencinta damai, seorang Jendral yang sudah reformasi.

Dukungan Aceh memberikan SBY sebuah lagi bintang kehormatan yang terselip didadanya, sebuah pengakuan dari mereka yang pernah dicobanya untuk menundukkan dengan mengirim 50 000 tentara.

Apakah keputusan rakyat Aceh kali ini akan terbukti tepat? Sejumlah kecil anggota DPR (yang tidak semuanya dari Partai Demokrat Presiden), dan seorang putra Aceh sebagai Menteri BUMN, tidak akan banyak berpengaruh dalam penentuan kebijakan pemerintah. Menuntut “bayaran” dari SBY untuk dukungan besar yang telah mereka berikan kepadanya ketika Pilpress dulu juga tidak masuk akal.

Pada hakikatnya, rakyat Aceh hanya bisa mempertaruhkan pengharapan mereka atas keyakinan bahwa SBY adalah seorang pemimpin yang cukup cerdas untuk menyedari bahwa menjaga dan mengembangkan perdamaian di Aceh adalah untuk kepentingan Republik Indonesia sendiri.

Perjanjian perdamaian ditandatangani setelah negosiasi yang susah dan lama, di antara dua pihak yang setaraf, di tingkat internasional, dan disaksikan oleh masyarakat dunia.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat Aceh telah menyatakan dengan jelas dan dengan syarat-syarat yang tidak tidak kabur bahwa Aceh adalah bagian dari NKRI. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), walau pun tidak dinyatakan bubar, namun telah memudar secara perlahan, sayap bersenjatanya (TNA) telah dibubarkan, senjatanya dihancurkan, anggota-anggotanya telah dengan sukarela kembali ke masyarakat sipil sebagai warganegarabiasa RI, dan para pemimpinnya menjadi pejabat pemerintah, politisi, serta usahawan.

Sesungguhnyalah, salah satu dari pihak-pihak yang berseberangan dalam negosiasi damai di Helsinki telah dengan ikhlas menurunkan tarafnya menjadi bagian dari pihak yang lain pada saat ditandatanganinya MoU Helsinki. GAM, sebagaimana diakui secara resmi oleh AMM, telah memenuhi kewajibannya yang ditetapkan dalam MoU.

Walaupun sekarang ini sudah tidak ada lagi kemungkinan ancaman apapun dari GAM sama sekali, dan dengan demikian tidak mungkin GAM bisa membuat sesuatu tekanan terhadap pemerintah pusat, namun sekarang adalah giliran pemerintah untuk memenuhi kewajibannya seperti termaktub dalam MoU.

Pemerintah pusat harus dapat mempastikan bahwa generasi Aceh yang akan datang tidak akan menyesali keputusan generasi Aceh sekarang ini menandatangani perjanjian perdamaian dengan pemerintah pusat, sebagaimana generasi saya mempertanyakan legitimasi perjanjian yang dibuat oleh generasi orangtua saya untuk mengakhiri pemberontakan DI/TII.

Hingga hari ini, empat tahun setelah penandatangan MoU Helsinki, dari 13 buah undang-undang yang perlu untuk pelaksanaan MoU Helsinki, hanya dua baru dibuat yaitu tentang pelaksanaan pemilu dan pembentukan partai-partai lokal. Masih banyak hal-hal penting lain belum terlaksana seperti pembentukan Mahkamah HAM (Fasal 2.2), Komisi Bersama Penyelesaian Klaim (Fasal 3.2.6), dan undang-undang pengelolaan urusan-urusan ekonomi (keseluruhan Fasal 1.3).

Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) yang telah diluluskan oleh DPR RI pada tahun 2006, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak sejalan dengan UUD-45; sampai sekarang pembetulannya belum dikemukakan kembali kepada DPR, mengakibatkan tertundanya pembentukan KKR lokal di Aceh sebagaimana tercantum dalam Fasal 2.3 MoU Helsinki.

Bahkan untuk suatu hal yang sangat sederhana sekalipun yang biayanya sangat kecil tetapi mempunyai arti yang sangat penting bagi Aceh dan seharusnya dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan segera masih terus diundur-undur, yaitu pemberian Visa On Arrival di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda yang baru dan indah berkilauan di bangun olegh BRR di Banda Aceh, padahal mulai Presiden SBY sampai ke Dinas-Dinas berkenaan sudah memberi izin.

Pemerintah pusat, dengan menunda-nunda pelaksanaan klausul-klausul dalam MoU Helsinki, bukan hanya membahayakan proses perdamaian di Aceh, tetapi juga melahirkan risiko hancurnya kemenangan besar yang dicapai pemerintah RI di Helsinki.

Hal ini akan merendahkan imej negara di mata dunia, bukan saja sebagai sebuah demokrasi yang sedang berkembang dan sebuah masyarakat yang terbuka dan adil, tetapi juga sebagai model dalam resolusi konflik dan penanganan situasi pasca konflik.

Ahtisaari telah memenangi Hadiah Nobel, tetapi tergantung pada Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono sendiri apakah beliau bisa meraih gelar pencinta perdamaian yang sejati, seorang presiden yang benar-benar menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, sehingga kami orang Aceh akhirnya bIsa berkata: ”kali ini kita telah memilih jalan yang betul”.

Penulis adalah Ketua Badan Reintergrasi Damai Aceh (BRA). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Previous Post Next Post