Qanun Jinayat Yang Disahkan DPRA Priode 2004-2009 Harus Segera Dibatalkan

M.Nur Al-Khalil [Foto Dok-Waa].

WAA  – Minggu 15/11/2009, Pernyataan SURA (Suara Rakyat Aceh)

Aceh - Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat yang disahkan DPRA harus segera Dibatalkan untuk dilakukan Revisi dan Dilengkapi Sesuai Dengan Kaidah Hukum Islam Kaffah.

Terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang di sahkan pada pertengahan september tahun 2009 yang lalu. Ulama se-Aceh mengadakan Mudhakarah yang berlangsung di hotel Lading, Banda Aceh pada tanggal 14 s.d 15 Nov 2009, meminta Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan DPRA harus segera dibatalkan untuk direvisi dan dilengakapi sesuai dengan kaidah hukum Islam yang kaffah.

Penilaian ulama Aceh ke- dua Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal yang prinsipil dalam Hukum Islam.

Selain itu ulama Aceh juga mehimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan Komponen masyarakat agar turut berpartisipasi memberi masukan ke pada ulama Aceh, karena berdasarkan surat keputusan gubernur (Kepala Pemerintahan Aceh) telah menugaskan ulama Aceh untuk menyusun Qanun yang terkait dengan peribadatan minimal 2 (dua) Qanun dalam tahun 2009, untuk kemudia akan membawa ke-dua qanun tersebut pada majelis kajian tinggi ulama Aceh.

Kajian Qanun jinayat dan acara jinayat tentu akan memakan waktu lebih panjang agar menghasilkan suatu peraturan yang baik dan mampu dilaksana oleh Pemerintah Aceh. Namun demikian dalam desember 2009 ini Ulama Aceh merencanakan akan menyerahkan kepada pemerintah Aceh Qanun tentang Aqidah Ahlisunnah Waljamaah dan Syariat Mazhab Syafieah .

Pasal-pasal yang harus di lengkapi menurut Ulama Aceh yaitu, Pasal 2 Qanun Jinayat yang menyatakan, Qanun ini mengatur tentang jarimah dan ‘uqubat khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musahaqah.

Dengan demikian Qanun ini telah tidak lengkap mengadopsi berbagai kejahatan yang diatur baik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist seperti pembunuhan, pencurian, korupsi, narkoba serta pemberontakan. hingga jika ini kita biarkan maka akan terjadi kebingungan penerapan hukum. Contoh, kejahatan pemerkosaan yang disertai dengan pembunuhan korbannya. Terhadap kasus kondisi seperti ini Pengadilan Syar’iyah tidak berwenang mengadili kejahatan pembunuhan karena tidak diatur dalam Qanun Jinayah. Hal yang seperti ini menurut ulama Aceh harus di lengkapi.

Disamping itu terhadap Qanun Acara Jinayat Produk DPRA Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh menduga adalah hasil ciplakan dari kitab hukum acara pidana yang notabenenya adalah bukan produk Islam, hingga kita dapat lihat dalam Qanun Acara Jinayah tidak ada pengaturan secara khusus terhadap jumlah 4 orang saksi dan syaratnya untuk kejahatan zina. Dengan tidak mencantumkan syarat saksi pada jarimah Zina dalam Qanun Acara Jinayat maka ini belum sesuai dengan Prinsip hukum Islam yang menghindari timbulnya fitnah dalam proses penegakan hukum.

Masalah lainnya dalam Qanun Jinayat yang belum sesuai dengan prinsip hukum Islam adalah (Pasal 7) tentang tidak dikenakan ‘uqubat setiap orang yang melakukan jarimah karena melaksanakan peraturan perundang-undangan. Akan dijadikan alasan pembenaran oleh aparat negara terhadap berbagai bentuk jarimah (kejahatan) yang telah dilakukan baik itu berzina, memperkosa atau mabuk-mabukan serta berjudi karena pasal ini tidak membatasi secara rinci terhadap kejahatan yang bagai mana yang dapat dianggap benar.

Bahwa dalam prinsip hukum yang berlaku di Indonesia tidak dikenal alasan pembenaran terhadap perbuatan yang sudah ada ketentuannya. “Yang ada adalah seseorang tidak boleh dipersalahkan atas suatu perbuatan yang belum diatur oleh negara atau belum ada ketentuannya”.

Demikian juga dengan Pasal 8 yang berbunyi, tidak dikenakan ‘uqubat setiap orang yang melakukan jarimah karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. Ini cenderung menciptakan kondisi dimana para pejabat negara akan kebal terhadap hukum jinayat, yang seacara langsung bertentangan dengan prinsip pemberlakuan hukum dalam Islam yang tidak pandang bulu, termasuk kepada para pejabat. Jadi sangat keliru jika karena jabatan seseorang dibenarkan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain dalam Qanun Jinayah.

Dalam hal ini sangat bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang bahwa bentuk perundang-undangan manusia dan perintah jabatan serta pejabatnya harus takluk dibawah Hukum Islam (Al-Qur’an & Al- Hadist), bukan sebaliknya mengabaikan Hukum Allah S.W.T karena perintah jabatan atau perintah manusia.

Banda Aceh, 15 Nov 2009

Tgk.H.Muhammad Nurul Al-Khalil

President SURA (Suara Rakyat Aceh)
Previous Post Next Post