Konflik Kompanye Aspirasi Rakyat Aceh

Tgk.Hasanuddin Tgk.H.Berdan.[Foto Dok-Waa].


WAA Rabu 11/11/2009 Oleh: Sekretariat WAA

Aceh - Konflik Kompanye Aspirasi Rakyat Aceh adalah sebuah tulisan karya Tgk Hasanuddin Berdan yang di kirim untuk ikut serta dalam sayembara menulis yang di adakan oleh World Achehnese Associaton untuk tahun 2009.

Tulisan Konflik Kompanye Aspirasi Rakyat Aceh terpilih menduduki urutan “the first prospect winner” Hapan-I.

Siapa Tgk.Hasanuddin Tgk.H.Berdan.
Tgk.Hasanuddin Tgk.H.Berdan lahir di Batee Leusong, 1977 dan tinggal di Dusun Drien Kuneng Gampong Seumirah Kecamatan Nisam Antara Kabupaten Aceh Utara.

Dusun Drien Kuneng Gampong merupakan tempat dimana saya belajar banyak hal tentang situasi dan kondisi Aceh, karna pada saat konflik berlansung ditempat tinggal saya dan keluarga saya merupakan daerah yang dikategorikan kedalam wilayah hitam, dan sampai dengan sekarang wilayah tersebut masih boleh dikatakan sebagai wilayah terisolir dibidang pembangunan.

Sejak kecil saya bersekolah dengan berjalan kaki sepanjang 2 km ke SD desa tetangga digampong Alue Dua yaitu tempat berdirinya Pusat Kecamatan Nisam Antara sekarang dan tamat pada tahun 1991.

Setelah menghabiskan masa kecil disebuah dusun terpencil saya melanjutkan pendidikan MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) di Krueng Geukuh Kecamatan Dewantara , tamat tahun 1994, karna orang tua saya berlatar belakang pendidikan agama yang kuat, maka setelah tamat sekolah MTsN saya melanjutkan pendidikan ke sebuah Pesantren atas dasar anjuran orang tua .

Selama kurang lebih kurang 6 (enam) tahun saya tinggal di Pesantren, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari Pesantren tersebut karna kondisi Aceh saat itu tidak memungkinkan saya untuk mampu bertahan didaerah yang juga rawan konflik.

Setelah melanglang buana selama 2 (dua) tahun sejak saya keluar dari Pesantren, akhirnya pada tahun 1994 saya bergabung dijaringan kerja HAM, saya tertarik dengan komonitas mereka karna tidak mampu melihat penderitaan rakyat Aceh saat itu, walaupun harus menanggung resiko yang sangat besar pada saat melakukan advokasi terhadap Korban Pelanggaran HAM, saya pasrah semua pada yang kuasa mengingat nasib mereka yang sangat membutuhkan perlindungan.

Selain aktif di organisasi saya juga aktif sebagai guru Dayah Hidayatul Ikhlas Dusun Dring Kuneng Gampong Seumirah Kecamatan Nisam Antara.

KONFLIK KAMPANYE ASPIRASI RAKYAT ACEH

Oleh : Tgk.Hasanuddin Tgk.H.Berdan

Banyak yang memandang konflik sebagai sesuatu yang salah dan menakutkan, hal demikian sangatlah wajar karna didalam konflik sering terjadi kekerasan misalnya intimidasi, teror, pelecehan seksual, pembunuhan dan peperangan.

Dipandang dari cirri fisik konflik itu sendiri memang demikian, namun itu hanyalah sebuah strategi yang dipakai untuk sampai kepada maksud, walau pada hakikatnya memang bertentangan, namun tidak boleh dipungkiri bahwa hal demikian pasti terjadi didalam konflik, karna konflik identik dengan kekerasan, tetapi maksud dan kandungan konflik tidaklah demikian, konflik tidak akan terjadi tanpa sebab dan akibat, dan akibat dari sesuatu yang salah sering kali menyulutkan konflik.

Dalam konteks Aceh, konflik bukan sengaja dirancang untuk diperankan sebagai sebuah drama yang layak di totonton oleh semua orang, tetapi ada kebijakan terselubung yang tentunya tidak memihak kepada kepentingan rakyat Aceh. Diakui atau tidak, sejarah telah membumikan keemasan Aceh pada masa kejayaanya, para peminpin Aceh tempo dulu telah berhasil menjalin hubungan diplomasi dengan bangsa-bangsa lain , taktik perang rakyat Aceh membuat musuh harus angkat kaki dari bumi Aceh. Dibidang perdagangan Aceh telah berhasil mengekspor hasil alam kenegara-negara lain, lewat jalur manapun perdagangan Aceh telah mampu menembus pasa-pasar internasional di dunia.

Sebagai sebuah daerah yang kecil kita patut mengacungkan jempol kepada pemimpin Aceh masa lalu yang begitu gigih menampakkan Aceh di mata dunia sebagai sebuah daerah yang mampu memberikan kontribusi kepada bangsa lain. Dibidang pendidikan Aceh dikenal sebagai daerah yang subur sebagai tempat tumbuh dan bekembangnya para ulama, dan oleh karna itu ulama dipakai sebagai orang yang mengambil kebijakan di Kerajaan Aceh, baik sebagai ahli riset kerajaan ataupun sebagai panglima di Medan perang. Walau kita tidak menyebutkan satu persatu diantara mereka, tetapi mereka telah berbuat sesuatu yang baik kepada negeri ini.

Berbagar persepsi muncul dalam menafsirkan konflik Aceh, dari yang mencela sampai kepada yang memuji, dipihak Pemerintah sendiri dari tahun ketahun selalu berubah pandangan dalam menanggapi berbagai persoalan yang terjadi tentangkonflik Aceh, misalnya di era orde baru yang dipimpin oleh Suharto, beliau berpendapat bahwa konflik di Aceh hanya dicetus oleh segelintir orang untuk mengacaukan keamanan, sehingga promotornya disebut dengan “ Gerakan Pengacau Keamanan “, diera Gus Dur dan Megawati , beliau berpendapat konflik diaceh terjadi karna ketidak puasan rakyat Aceh dalam menjalankan Syariat Islam, sehingga pendekatan Megawati setelah menjadi presiden dengan memberlakukan Syariat Islam secara Kaffah, dan lagi-lagi ini merupakan resep yang tidak Mujarab sama sekali, pada akhirnya Darurat Militer menjadi pilihan utama M,bak Megawati, yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dan ribuan nyawa melayang, pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, beliau nampaknya paham akan api konflik yang sedang berkobar, sehingga beliau mengambil langkah-langkah yang konkrit dan rasional untuk meredam api konflik dengan menempuh jalur diplomasi, maka terjadilah Perundingan antara pihak-pihak yang bertikai dengan sebuah perjanjian hitam diatas putih yang disebut dengan MoU Helsinky pada tanggal 15 Agustus 2005.

Sebahagian orang melihat konflik Aceh bukan sesuatu hal yang salah, karna terjadinya sesuatu pasti diawali oleh sebab, dalam analisis sosial orang bisa mengetahui tentang kenapa sesuatu hal bisa terjadi, tanpa mengklaim siapa yang bersalah solusi bisa dicari kalau ditemukan akar permasaalahannya. Kalau kita bebicara dalam konteks Aceh maka penyebabnya adalah Aceh selalu dianak tirikan, sebenarnya kalau dilihat dari kekayaan alamnya dan potensi lain yang ada diacah sangat tidaklah wajar penduduknya lebih dari 70 % berda dalam lingkaran kemiskinan, maka konflik itu sebagai reaksi kekecewaan rakyat Aceh, dengan konflik orang bisa melihat bahwa kebijakan belum memihak kepada rakyat Aceh. Sangat tidak masuk akal kalau kita melihat fenomena yang terjadi di Aceh, dimana masyarakat yang hidup berdampingan dengan proyek raksasa di Aceh baik PT. Arun NGL.Co atau Mobill Oil di Aceh Utara, masih menggunakan kayu bakar sebagai bara api untuk memasak.

Maka ketika rakyat telah menyadari bahwa peminpin telah lupa akan apa yang diucapkan dan lalai apa yang diamanatkan kepadanya, rakyat mempunyai pandangan lain untuk mengetuk hati para Penguasa, berbagai jalan di tempuh untuk melakukan advokasi demi membawa aspirasi rakyat, kampanye aspirasi pun digelar diberbagai tempat dan media baik dalam maupun luar negeri.

Periode konflik
Konflik di Aceh sebenarnya sudah sangat lama sekali, tetapi tumbuh bibit baru sejak tahun 1976 dan memuncak pada tahun 1998, pada saat Suharto lengser dari jabatannya sebagai presiden RI.

Pada tanggal 4 Desember 1976, para pemikir-pemikir yang jenius di Aceh mulai mengatur strategi dalam memperjuangkan nasib rakyat Aceh yang dipandang telah ditindas dan didhalimi,karna rakyat sendiri telah pasrah kepada apa yang terjadi,masa depan telah dirintis dengan berbagai cara tanpa memandang kondisi yang terjadi disekililingnya, seakan nasibnya sudah menjadi ketentuan Yang Kuasa tanpa harus berusaha dan berlkhtiar, sebenarnya Allah masih bisa merubah nasib sesuatu kaum selama ia sendiri mau mengubahnya, maka Prof.Dr.Tgk.Hasan Tiro dan para pengikutnya saat itu Memproklamirkan “Aceh Merdeka”, yang pada akhirnya mampu membawa masalah Aceh ke forum internasional, walaupun tidak semua rakyat mengakui bahwa mereka berniat baik untuk membawa Aceh kedepan ke arah yang lebih baik, tetapi mereka telah mencoba berbuat sesuatu untuk kebaikan rakyat Aceh sebenarnya bibit konflik tidak akan menyebar kalau dikelola dengan baik dan benar, tetapi pihak pemerintah waktu itu terkesan membiarkan dan penyelesaiannya selalu menggunakan kekerasan, aksi nyata pemerintah adalah senjata dan senjata itu telah menimbulkan reaksi lain dari masyarakat Aceh, diakibatkan sebagaian dari keluarga mereka menjadi sasaran pihak keamanan. Bahkan sampai sekarang masih ada keluarga yang masih belum menemukan pusara kerabat mereka.

Semua pihak pada saat itu telah bersatu dalam menciptakan konflik walau tanpa ada rumusan sebelumnya, dan semua yang tampak dihadapan kita bisa menyulutkan konflik, misalnya pihak pemerintah, ditempat-tempat umum memasang papan pengumuman yang isinya’ Ulama dan Umara mengajak ABRI dan rakyat untuk membasmi GPK sampai keakar-akarnya “ dan seorang warga kalau berjumpa dengan Aparat Keamanan dikatakan “Si Pai”, aparat keamanan sendiri bila berjumpa dengan seorang warga lansung menanyakan, apakah kau “ AM” (Aceh Merdeka), begitu juga warga yang melihat ada seseorang yang sedang berbicara dengan aparat, maka dituduh sebagai mata-mata ( Cuak), realitas ini hampir terjadi diseluruh tempat di Aceh, seakan ada pihak yang telah mengatur strategi untuk menyuburkan bibit konflik.

Hanya sebahagian rakyat Aceh yang bisa menghirup udara nyaman dikala itu, yaitu mereka yang tinggal didaerah perkotaan, sementara mereka yang tinggal dipedalaman hampir setiap hari dihantui oleh suara sepatu PDL.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata mereka setiap hari harus menjawab ribuan
pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, bahkan tidak jarang dari rakyat Aceh yang di bogem dengan kopor senjata karna salah dalam memberikan jawaban, keadaan ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, anak masih umur sekolahpun ikut merasakan hal yang demikian, karna setiap pulang sekolah mereka selalu bertemu dengan Aparat yang sedang melakukan pratoli, trauma dan kegelisahan selalu terjadi, apalagi pada saat malam hari, udara dingin yang menusuk tulang seakan membawa kabar esok hari akan ada mayat yang terbuang.

Sejak tahun 1989 s/d tahun 1998, pemerintah Indonesia berhasil menampakkan Aceh dimata dunia Internasional bahwa kondisi fisik Aceh dalam keadaan sehat wal’afiat, padahal rakyat Aceh sendiri mengalami bahwa ada penyakit kronis yang harus dioperasi, kalau tidak seluruh sendi-sendi kehidupan akan rusak, yaitu DOM (Daerah Operasi Militer ) berperan sebagai penenang dalam meredakan konflik Aceh, kuburan missal tersebar dimana-mana, janda bertaburan bak jamur dimusim hujan, anak yatimsemakin bertanbah setiap hari, di Pos-pos aparat keamana masih ada orang yang terbelenggu kakinya dan pemerkosaan masih terjadi dimana-mana.

Eksistensi dari penerapan DOM telah banyak warga Aceh yang harus keluar dari Aceh untuk mencari ketenangan di negeri seberang, bahkan sebahagian dari mereka ada yang mencari suaka politik. Betapa tidak, karna kalau mereka bersikeras untuk tinggal di Aceh, maka nyawalah yang menjadi taruhannya.

Demo mahasiswa dalam menuntut pencabutan DOM di Aceh tidak di gubris oleh pemerintah, kalau mereka terus mendesak maka akan berhadapan dengan aparat keamanan.

Dalam kepemimpinannya yang otoriter Presiden RI ke dua yaitu presiden Suharto tumbang pada tahun 1998 dan DOM segera dicabut dari Aceh, akibat desakan dari berbagai elemen masyarakat Aceh.

Konflik Memuncak
Pada tahun 1998 konflik Aceh sudah sampai pada puncak yang tidak bisa dihentikan, kesempatan rakyat Aceh untuk melakukan kampanye aspirasinya mulai nampak jalan keluarnya, berbagai aktivis mulai bangkit untuk mendesak pemerintah dalam menuntaskan kasus Aceh, pelanggaran HAM mulai dituntut dan pelakunya harus diseret ke mahkamah pengadilan, korban pelanggaran HAM sudah bias berbicara menuntut keadilan, demontrasi terjadi dimana-mana. Melihat kondisi yang demikian Pemerintah Indonesia kembali bereaksi dengan mengambil langkah-langkah pengamanan disetiap instansi Pemerintah dan swasta yang sering menjadi sasaran warga.

Nampaknya rakyat Aceh belum mendapatkan kepuasan dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah, walaupun DOM telah dicabut, tetapi masalah belum selesai sampai disitu, luka lama belum kunjung usai diobati, kepedihan masih terpendam dilubuk hati yang dalam.

Keadaan berlalu begitu saja, pemeinpin demi peminpin silih berganti, sampai akhirnya rakyat Aceh kembali dipinpin oleh seorang yang secara fisik tidak bias menjadi Presiden karna buta, yaitu Gus Dur, yang terpilih sebagai Presiden RI ke 4 pada tanggal 23 oktober 1999, namun sang Kiai itu tak mampu juga meredam konflik yang terjadi di Aceh sekalipun beliau pernah mengaku dirinya sebagai nabinya orang Aceh.

Selama hamper 2 (dua) tahun memimpin Gus Dur dilengserkan melalui keputusan siding MPR-RI, maka posisinya diganti oleh wakilnya Megawati Sukarno Putri yang dilantik menjadi Presiden RI ke 5 (lima) pada tanggal 23 Juli 2001.

Rakyat Aceh menaruh harapan besar pada Presiden wanita pertama di Indonesia sejak 6 (enam) dasawarsa kemerdekaan RI, karna Megawati pernah berjanji dihadapan ribuan rakyat Aceh, bahwa setetes darahpun tidak boleh tumpah di Bumi Serambi Mekkah, sebagai seorang wanita Megawati mempunyai sifat sensitive, reaksinya sangat spontan ketika melihak gejolak Aceh semakin menjadi-jadi, tanpa memikirkan janji yang telah diucapkan, beliau menjadikan kesengsaraan rakyat Aceh lebih parah dari sebelumnya, operasi-operasi terus ditingkatkan dengan berbagai sebutan.

Sampai Akhirnya beliau menetapkan Aceh sebagai Daerah Darurat Militer, Megawati ingin menguji system kepamimpinanya dalam menyelesaikan masalah bangsa, berbondong-bondong aparat keamanan dikirimkan ke Aceh untuk mencari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), namun hasilnya sangat nihil karna yang menjadi sasaran selalu warga sipil yang tak berdosa.

Kali ini rakyat Aceh kembali di selimuti oleh ketakutan yang luar biasa, baik diperkotaan ataupun Pedesaan aparat keamanan telah mendirikan pos-pos dengan berbagai macam senjata siap tembak. Berbagai ketentuan diterapkan oleh aparat untuk membedakan mana musuh dan mana masyarakat sipil.

Ketakutan yang luar biasa dialami oleh masyarakat Aceh yang tinggal didaerah Pedalaman, karna sewaktu-waktu tempat yang mereka huni menjadi medan perang. Selain mereka harus memiliki KTP merah putih yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, mereka juga harus mengantongi surat yang dikeluarkan oleh aparat keamanan kalau misalnya mau kekebun, seperti Surat Izin Berkebun.

Ribuan Hektar kebun warga menjadi lahan tidur akibat ditinggal oleh pemiliknya, tenda-tenda pengungsi tersebar diseluruh penjuru Aceh, mata pencaharian tidak begitu penting asalkan nyawa bias diselamatkan. Setiap hari selalu ada mayat yang dibuang dipinggir jalan tanpa identitas.

Dari Darurat Militer sampai Darurat Sipil ribuan nyawa melayang, ratusan Rumah Sekolah hangus terbakar, tempat ibadah dijadikan sebagai pos tempat belindung.

Pada pemilu tanggal 20 september 2004 Megawati mengalami kekalahan yang sangat signifikan ketika bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan pada akhirnya Megawati harus menerima kekalahannya, dan menutup lembaran kepemimpinannya sebagai Presiden RI, maka Presiden Indonesia di jabat Oleh SBY untuk lima tahun kedepan.

Setelah menjadi Presiden SBY dan wakilnya JK mulai mengarahkan pandangannya ke Aceh yang saat itu masih dalam Status Darurat Sipil. Dari lobi-lobi politik beliau setelah Aceh diterjang Tsunami, maka lahirlah suatu kesepakatan bersama antara Pemerintah RI dan GAM yang tertuang dalam MoU Helsinky pada tanggal 15 Agustus 2005.

Tertutuplah lembaran konflik di Aceh setelah pemulangan Aparat keamanan secara bertahap dan pemusnahan senjata GAM yang melibatkan pihak Uni Eropa yang bernaung dibawah AMM, karna sedikit banyaknya aspirasi rakyat Aceh sudah tertampung yang tertuang didalam MoU Helsinki.

Dari poin-poin yang ada didalam MoU Helsinky ada kegembiraan yang dirasakan oleh rakyat Aceh, karna ada peluang besar yang berhasil disepakati oleh kedua belah pihak yaitu “ Self Government” atau pemerintahan sendiri.

Rakyat Aceh juga masih menunggu kapan RUUPA bisa diimplementasikan, sekian lama sudah setelah perundingan berlalu tetapi belum ada perubahan yang berarti baik dari segi ekonomi ataupun dibidang lain sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki.

Kita tentu sangat pesimis dengan hal yang demikian, karna perdamaian Aceh belum seumur jagung, artinya api konflik masih bisa disulutkan kapan saja, kalau seandainya respon dari pihak Pemerintah terhadap Aceh masih bersifat menganaktirikan. Dan kita tentu tidak menginginkan penyakit yang lama akan kambuh kembali, tetapi tida mustahil, kalau pemerintah tidak menggunakan system therapy yang dapatmenghilangkan luka lama.

Tgk.Hasanuddin Tgk.H.Berdan adalah aktifis organisasi dan juga aktif sebagai guru Dayah Hidayatul Ikhlas Dusun Dring Kuneng Gampong Seumirah Kecamatan Nisam Antara.
Previous Post Next Post