KKR Aceh dan Menumbuhkan Harapan Bagi Korban Konflik


Ariel kahhari Mukhtar, SP [Foto Dok-Waa].

WAARabu 18/11/2009, Oleh: Sekretariat WAA

ACEH - KKR Aceh dan Menumbuhkan Harapan Bagi Korban Konflik adalah sebuah tulisan karya Ariel Kahhari Mukhtar, SP yang di kirim untuk ikut serta dalam sayembara menulis yang di adakan oleh World Achehnese Associaton untuk tahun 2009.

Tulisan KKR Aceh dan Menumbuhkan Harapan Bagi Korban Konflik terpilih menduduki urutan “Awad Diplom to the third winner” Juara III (Penghargaan dari WAA).

Siapa Ariel Kahhari Mukhtar, SP

Nama Ariel Kahhari, kelahiran 8 April 1984 di kota Banda Aceh. Pria belum menikah yang disapa Ain oleh orang-orang terdekatnya ini, menghabiskan masa studi sekolah seluruhnya di Banda Aceh. Pun gelar serjana, Ariel dapati dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.

Menulis bukanlah pekerjaan asing bagi mantan Manager Program kantor berita radio antero Banda Aceh ini, sama halnya seperti membaca, adalah aktivitas yang begitu disukai oleh penyiar, reporter dan karyawan di statiun LPP TVRI Aceh ini, terutama membaca novel-novel Islam.

Sehari-hari, Ariel sangat menggemari bermain bulutangkis. Sepekan dua kali, ia bersama teman-temannya selalu bermain tepok bulu itu. Dan mengikuti peta kekuatan perbulutangkisan dunia juga menjadi salah satu hobinya. Hobi pria humoris ini selain itu adalah bernyanyi. Pada tahun 2004, ia bahkan pernah menjadi duta seni indonesia di Provinsi Tianjin, China.

Hingga kini, Ariel masih menjadi Penyiar dan Host di TVRI Banda Aceh. Terkadang seminggu sekali, ia masih menjadi presenter off air di berbagai acara yang yang tak dihadiri ‘pembesar-pembesar’ Aceh. Terakhir, ia menjadi presenter dalam acara penggalangan dana untuk Sumbar. Di Aceh, nama Ariel Kahhari dikenal sebagai presenter muda paling berbakat.

KKR Aceh dan Menumbuhkan Harapan Bagi Korban Konflik

Oleh: Ariel Kahhari Mukhtar, SP

Menjadi daerah konflik selama 30 tahun lebih menjadikan Aceh ibarat sebuah ladang penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan pencabutan hak-hak kemanusiaan lainnya.

Memang tidak pernah ada data yang konkrit berapa sebenarnya jumlah korban pelanggaran HAM di Aceh selama diberlangsungnya “Program” Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer hingga pemberlakuan darurat sipil. Namun data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan kelompok perempuan Aceh, selama 1998-2000 menunjukkan 56 perempuan di tembak, 15 orang hilang, 26 dianiaya, 20 diperkosa dan 40 lainnya diserang secara seksual.

Angka ini pastinya diluar dari angka yang sebenarnya,indikasi nya dari banyaknya kerangka manusia yang ditemukan di kuburan missal yang tersebar di wilayah Aceh dan banyaknya korban dari kaum pria. Namun yang jelas akibat “program-program” tersebut jumlah janda dan anak yatim bertambah drastis, belum lagi jika harus melihat dari sektor ekonomi dan sektor kehidupan lainnya.

Ketika memorandum of understanding (MoU) damai di tanda tangani oleh kedua pihak yang bertikai, yaitu pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang di lakukan di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005 lalu tidak lantas menjadikan persoalan pelanggaran HAM Aceh tutup buku. Malah kesempatan damai tersebut menjadi titik awal dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.

Dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang merupakan pruduk hokum hasil MoU Helsinki juga mencantum upaya-upaya untuk menyelesaikan permasaalahan pelanggaran HAM di Aceh. Pada poin 2.2.3 disebutkan komisi kebenaran Uganda.

Komisi seperti ini menjadi fenomena bagi negara-negara yang baru saja terlepas dari pemerintahan yang otariter dengan pemberlakuan hokum yang tidak rasional dan manusiawi atau bagi daerah yang baru saja keluar dari konflik dan perang. Sebut saja di Afrika Selatan yang memberlakukan aphartheid. Dari Negara itu muncul seoarang Nelson Mandela tokoh anti aphartheid. Dia pula yang menggagaskan pembentukan the truth and Reconciliation Commission atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Bahkan Nelson Mandela pernah mengungkapkan kalimat singkat nan bijak yaitu forgive not forget memaafkan tapi bukan untuk dilupakan.

Di Indonesia isu KKR juga mencuat, melalui TAP MPR No VI tahun 2000 tentang Persatuan Nasinal, memastikan penyusunan legislasi tentang komisi kebenaran dan rekonsialisi. Dalam mandat tersebut terdapat UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, dimana pada pasal 43 disebut bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani melalui KKR. Dan melalui UU No. 27 Tahun 2004 pembentukan KKR semakin dipertegas. Namun oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan alasan terdapat pasal-pasal krusial dalam Undang-Undang tersebut yang bertentangan dengan konstitusi Indonesia, UUD atas hal itu juga berdampak terhadap pembentukan KKR Aceh, mengingat KKR Aceh merupakan bagian dari KKR nasional sehingga bagaimana mungkin KKR Aceh bisa dilanjutkan pembentukannya kalau “induknya” saja sudah “dimatikan”.

Namun hal terpenting dari semua itu adalah, mungkin rakyat Aceh khususnya para korban konflik meraih keadilan melalui KKR? Mengingat mekanisme dalam KKR berbeda dengan pengadilan. KKR akan lebih banyak memberikan petunjuk terutama dari korban, karena lembaga ini memang hanya untuk mendengarkan kesaksian-kesaksian dari para korban.

Sehingga jelas bahwa KKR bukan untuk membawa pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan. Tetapi hanya sekedar sekedar mengungkap kebenaran. Kebenaran yang ingin dirasakan oleh para korban konflik yang haknya pernah tercabik-cabik. Sebuah harapan yang hingga kini masih dinanti.

Ariel Kahhari adalah Penyiar dan Host di TVRI Banda Aceh
Previous Post Next Post